Senin, 10 Oktober 2011

KONTROVERSI NURTURE DAN NATURE DALAM PSIKOLINGUISTIK (oleh: I. Prasastie)


Feb 25, '08 6:12 PM
untuk semuanya

1.             Pendahuluan
Dalam perbincangan mengenai proses pemerolehan bahasa terdapat perdebatan sengit di kalangan ahli bahasa mengenai sifat pemerolehan bahasa yaitu mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dan yang kedua adalah pemerolehan bahasa yang bersifat nature. Menurut para ahli bahasa, pemerolehan bahasa yang bersifat nurture berarti bahwa pemerolehan bahasa seseorang itu ditentukan oleh lingkungan sekitar dimana ia berada, sedangkan pemerolehan bahasa yang bersifat nature berarti bahwa pemerolehan bahasa itu pada dasarnya merupakan suatu bekal yang telah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan ke dunia. Para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nurture pada umumnya adalah para ahli bahasa dari aliran behaviorisme sedangkan para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nature umumnya adalah mereka yang berasal dari aliran nativisme. Oleh karena itulah, pembahasan mengenai nurture dan nature ini tidak terlepas dari kedua aliran tersebut.
Kedua sifat pemerolehan bahasa tersebut diatas merupakan topik yang cukup menarik bagi penulis untuk dibahas disini karena menurut beberapa pihak masalah nature dan nurture ini masih merupakan suatu kontroversi yang belum ditemukan jalan keluarnya sedangkan menurut pihak lain, keduanya telah menjadi sesuatu yang sesungguhnya sama-sama diperlukan dalam pemerolehan bahasa.

2.             Pembahasan
Pada bagian pembahasan dari tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga  bagian utama, yang pertama adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dari sudut pandang para ahli yang mendukungnya, bagian kedua adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nature dari sudut pandang para ahli yang mendukungnya, dan bagian yang ketiga adalah contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture maupun nature ternyata sama-sama diperlukan dalam proses pemerolehan bahasa seseorang.

2.1         Nurture
Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dari sudut pandang beberapa ahli yaitu Ivan Pavlov, John B. Watson dan B.F. Skinner. Pada intinya yang dimaksud dengan proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture adalah bahwa proses pemerolehan bahasa seseorang itu merupakan suatu kebiasaan yang dapat diperoleh melalui proses pengkondisian (Brown, 2000:34).  Anak-anak memberikan respon kebahasaan melalui pemberian stimuli yang terus diperkuat dan mereka belajar memahami ujaran dengan cara memberikan respon terhadap ujaran tersebut dan dengan cara mendapat penguatan atas respon yang diberikannya. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli behaviorisme yang sangat meyakini bahwa anak-anak hadir di dunia disertai dengan sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis yang bersih tanpa ada pemahaman sebelumnya atas dunia maupun atas bahasa, dan bahwa anak-anak tersebut kemudian dibentuk oleh lingkungan mereka dan perlahan-lahan terkondisikan melalui beragam jadwal penguatan (Brown, 2000:22).
a.   Ivan Pavlov
Ivan Pavlov adalah seorang ahli psikologi dari Rusia yang melaksanakan serangkaian eksperimen yang kemudian terkenal dengan sebutan classical conditioning. Dalam eksperimennya tersebut Pavlov menggunakan anjing sebagai subyek. Pavlov kemudian memeroleh kesimpulan bahwa stimuli netral awal yang berupa suara dari garpu yang dibunyikan menghasilkan kekuatan yang mendatangkan respon yang berupa pengeluaran air liur anjing yang pada mulanya dihasilkan dari stimuli lain yaitu penglihatan atau bau makanan anjing. Dengan demikian maka Pavlov telah membuktikan bahwa proses belajar itu terdiri dari pembentukan beragam asosiasi antara stimuli dan respon refleksif (Brown, 2000:80).


b.   John B. Watson
John B. Watson adalah seorang psikolog yang menemukan istilah behaviorisme dan sekaligus menemukan suatu aliran ilmu psikologi baru yang menyatakan bahwa para psikolog seharusnya hanya terfokus pada perilaku yang dapat diamati secara langsung. Lebih jauh, menurut Watson, pada dasarnya pernyataan-pernyataan ilmiah dapat selalu diverifikasi (atau dibantah) oleh siapapun yang mampu dan bersedia untuk melakukan observasi yang diperlukan. Namun kemampuan ini tergantung pada kegiatan untuk memelajari hal-hal yang dapat diamati secara obyektif. Menurutnya proses kejiwaan bukan merupakan sebuah subyek yang tepat bagi studi ilmiah karena proses kejiwaan merupakan peristiwa pribadi yang tidak ada seorangpun yang dapat melihat atau menyentuhnya. Sedangkan perilaku merupakan respon atau aktifitas yang jelas atau dapat diamati oleh sebuah organisme. Maka Watson menegaskan bahwa para psikolog dapat memelajari apapun yang dilakukan atau dikatakan orang –berbelanja, bermain catur, makan, memuji seorang teman- namun mereka tidak dapat memelajari secara ilmiah pikiran, harapan, dan perasaan yang mungkin menyertai perilaku tersebut.
Berangkat dari pandangan barunya terhadap psikologi tersebut dan dengan berpegangan pada temuan Pavlov yaitu dengan menggunakan teori classical conditioning maka Watson menyatakan bahwa penjelasan atas segala bentuk pembelajaran adalah dengan melalui proses pengkondisian maka manusia membentuk sejumlah hubungan stimuli-respon, dan perilaku manusia yang lebih kompleks dipelajari melalui cara membangun serangkaian atau rantai-rantai respon (Brown, 2000:80).
Dengan demikian Watson mengambil posisi yang ekstrim terhadap salah satu pertanyaan psikologi yang tertua dan paling mendasar yaitu masalah mengenai nature dan nurture. Watson menyatakan bahwa setiap orang itu dibentuk menjadi apa adanya mereka kemudian dan bukan dilahirkan. Ia mengabaikan pentingnya keturunan, dengan menyatakan bahwa perilaku ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan. Namun pandangan Watson tersebut tidak pernah mendapat kesempatan untuk diuji lebih lanjut. Meskipun demikian tulisan-tulisannya memberikan sumbangan yang cukup besar bagi elemen lingkungan yang seringkali dihubungkan dengan behaviorisme.
c.   B.F. Skinner
Seorang ahli bahasa lain yang juga berkecimpung dalam teori behaviorisme dan mengikuti jejak dan tradisi Watson adalah B.F. Skinner, seorang psikolog Amerika yang hidup pada tahun 1904 sampai dengan 1990. Setelah memperoleh gelar doktor pada tahun 1931, Skinner menghabiskan sebagian besar karirnya di Universitas Harvard tempat ia memeroleh kemasyuran atas penelitiannya terhadap pembelajaran pada organisme rendah, sebagian besar pada tikus dan burung dara.
Pada tahun 1950-an ia memperjuangkan kembalinya pendekatan stimulus-respon milik Watson. Ia memiliki teori klasik yaitu Verbal Behavior yang merupakan usaha lanjutan dari teori umum pembelajaran Skinner sendiri yang disebut dengan pengkondisian operan (operant conditioning). Skinner melakukan eksperimen terhadap tikus dimana ia melatih tikus untuk mendapatkan makanan dengan menekan pedal tertentu. Setelah tikus tersebut mendapatkan pengetahuan bahwa jika ia ingin makan maka ia harus menekan pedal, kemudian proses untuk memeroleh makanan dipersulit dengan menyalakan lampu dimana sebelum mendapatkan makanan ia harus menekan pedal ketika lampu berkedi-kedip. Proses berikutnya adalah penekanan pedal sebanyak dua kali ketika lampu berkedip-kedip yang juga dapat dipahami oleh tikus tadi (Dardjowidjojo, 2003:235).
Maka apa yang dimaksud dengan pengkondisian operan oleh Skinner adalah pengkondisian dimana organisme (manusia) menghasilkan suatu respon, atau operan (sebuah kalimat atau ujaran atau aktifitas-aktifitas yang beroperasi atas dasar lingkungan), tanpa adanya stimuli yang dapat diamati; operan tersebut dijaga (dipelajari) melalui penguatan (reinforcement) (Brown, 2000:22-23). Teori Skinner ini menerangkan bagaimana berbagai kecenderungan respon dicapai melalui pembelajaran. Jika respon diikuti oleh konsekuensi yang menguntungkan atau disebut juga penguatan, maka respon tersebut menguat dan jika respon menghasilkan konsekuensi negatif  atau hukuman), maka respon tersebut akan melemah. Melalui eksperimennya tersebut, Skinner menemukan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk pengetahuan mengenai bahasa merupakan kebiasaaan semata atau hal yang harus dibiasakan terhadap subyek tertentu yang dilakukan secara terus-menerus dan bertubi-tubi (Dardjowidjojo, 2003:235).
Dalam bukunya Diluar Kebebasan dan Martabat (Beyond Freedom and Dignity) yang diterbitkan tahun 1971 Skinner menyatakan bahwa semua perilaku sepenuhnya diatur oleh rangsangan eksternal. Dengan kata lain, perilaku manusia ditentukan oleh cara-cara yang dapat diprediksi oleh prinsip-prinsip hukum, seperti halnya terbangnya anak panah yang diatur oleh hukum-hukum fisika. Maka, jika seseorang meyakini bahwa tindakan-tindakannya merupakan hasil-hasil dari keputusan-keputusan secara sadar, maka ia keliru. Menurut Skinner, semua manusia dikendalikan oleh lingkungannya, bukan oleh dirinya sendiri.
Selanjutnya, dengan mengikuti tradisi Watson, Skinner menunjukkan minat yang kecil terhadap apa yang terjadi “di dalam” diri manusia. Ia menyatakan bahwa adalah sia-sia untuk berspekulasi terhadap proses-proses kognitif pribadi yang tidak dapat diobservasi. Melainkan, ia memfokuskan pada bagaimana lingkungan eksternal membentuk perilaku yang jelas. Ia menyatakan adanya determinisme, yang menilai bahwa perilaku sepenuhnya ditentukan oleh stimuli lingkungan. Menurut pandangannya, orang cenderung menunjukkan beberapa pola perilaku karena mereka memiliki kecenderungan-kecenderungan respon  (response tendencies) yang stabil yang mereka capai melalui pengalaman. Kecenderungan-kecenderungan respon tersebut dapat berubah di masa mendatang, sebagai hasil dari pengalaman baru, namun mampu terus bertahan untuk menciptakan tingkat konsistensi tertentu dalam perilaku seseorang.


Lebih lanjut, Skinner memandang pribadi seorang individu sebagai sebuah kumpulan kecenderungan-kecenderungan respon yang terikat pada berbagai situasi stimuli. Sebuah situasi tertentu dapat dihubungkan dengan sejumlah kecenderungan respon  yang bervariasi dalam kekuatan tergantung pada pengkondisian di masa lalu. Karena kecenderungan-kecenderungan respon secara konstan diperkuat atau diperlemah oleh pengalaman-pengalaman baru, teori Skinner memandang perkembangan kepribadian sebagai sebuah perjalanan yang berkelanjutan seumur hidup. Skinner tidak melihat alasan untuk membagi proses perkembangan ke dalam beberapa tahap. Ia juga tidak memberikan importansi khusus pada pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak.
Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, Skinner adalah seseorang yang mendukung nurture, karena baginya, setiap ujaran yang diucapkan manusia sesungguhnya mengikuti satu bentuk yang bersifat baik verbal maupun nonverbal dan perilaku bahasa semacam ini hanya dapat dipelajari manusia dari lingkungan atau faktor-faktor eksternal yang ada di sekitarnya (Pateda, 1991:99). Dengan demikian ia mempertegas dan memperjelas pandangan bahwa stimuli adalah hal yang terpenting dalam proses pemerolehan bahasa karena pada dasarnya stimuli yang memengaruhi respon.
Dalam hubungannya dengan aliran behaviorisme sendiri, menurut Lyons (1977:122) terdapat prinsip atau kecenderungan khusus yang menyatakan bahwa aliran ini cenderung memperkecil peran insting dan dorongan-dorongan yang dibawa sejak lahir dan penekanan atas peran yang dimainkan oleh pembelajaran dimana hewan dan manusia memperoleh pola-pola perilaku mereka; menekankan pada pemupukan (nurture) dan bukan pada sifat alami (nature), lebih menekankan pada lingkungan ketimbang pada faktor keturunan.
Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:
1.   Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan.
2.   Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan.
3.   Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula.
4.   Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.

2.2         Nature
Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature dari sudut pandang beberapa ahli, yaitu Noam Chomsky, Derek Bickerton dan David McNeill. Pada dasarnya yang dimaksud dengan proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah bahwa proses pemerolehan bahasa ditentukan oleh pengetahuan yang dibawa sejak lahir dan bahwa properti bawaan tersebut bersifat universal karena dialami atau dimiliki oleh semua manusia (Brown, 2000:34).
a.   Noam Chomsky
Sebagai wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang merupakan seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat nurture atau dipengaruhi oleh lingkungan. Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu memelajari suatu bahasa. Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (language acquisition device/LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236).
Skinner dipandang terlalu menyederhanakan masalah ketika ia menyama-ratakan proses pemerolehan pengetahuan manusia dengan proses pemerolehan pengetahuan binatang, yaitu tikus dan burung dara yang digunakan sebagai subyek dalam eksperimennya, karena menurut pendekatan nativis, bahasa bagi manusia merupakan fenomena sosial dan bukti keberadaan manusia (Pateda, 1991:102). Selain itu ada pula alasan lain mengapa pendekatan nativis merasa tidak setuju terhadap teori Skinner. Alasan tersebut berhubungan dengan bahasa itu sendiri, yaitu menurut para nativis bahasa merupakan sesuatu yang hanya dimiliki manusia sebab bahasa merupakan sistem yang memiliki peraturan tertentu, kreatif dan tergantung pada struktur (Dardjowidjojo, 2003:236). Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas mental dan sebaiknya tidak dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101).
b.   Derek Bickerton
Pendukung lain dari proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah Derek Bickerton (Brown, 2000:35). Ia melakukan sejumlah penelitian mengenai bekal yang dibawa manusia sejak lahir (innateness) dan mendapatkan beberapa bukti yang cukup signifikan. Bukti-bukti tersebut mengungkapkan  bahwa manusia itu sesungguhnya telah “terprogram secara biologis” untuk beralih dari satu tahap kebahasaan ke tahap kebahasaan berikutnya dan bahwa manusia terprogram sejak lahir untuk menghasilkan sifat-sifat kebahasaan tertentu pada usia perkembangan yang tertentu pula (Brown, 2000:35). Dengan demikian pemerolehan bahasa tidak ditentukan oleh proses kondisi yang diberikan pada anak namun ditentukan oleh proses yang berjalan dengan sendirinya sejak anak lahir ke dunia seiring dengan kematangan pengetahuan bahasa dan usia anak tersebut.
c.   David McNeill
Dalam Brown (2000:24) menyatakan bahwa LAD terdiri dari empat properti kebahasaan bawaan, yaitu:
1.   Kemampuan untuk membedakan bunyi ujaran manusia (speech sounds) dari bunyi lain dalam lingkungan
2.   Kemampuan untuk mengorganisir data kebahasaan menjadi beragam kelas yang dapat diperhalus atau diperbaiki di kemudian hari
3.   Pengetahuan bahwa hanya jenis sistem kebahasaan tertentu yang mungkin untuk digunakan dan jenis sistem lainnya tidak mungkin untuk digunakan
4.   Kemampuan untuk melakukan evaluasi secara konstan terhadap sistem kebahasaan yang terus berkembang sehingga dapat membangun sistem yang paling sederhana dari masukan kebahasaan yang ada.
Sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana manusia memelajari bahasa, Bell (1981:24) juga berusaha mengajukan beberapa pandangan Chomsky, yaitu:
1.   Aktivitas yang terjadi di dalam pikiranlah, misalnya cara memproses, menyimpan dan mengambil pengetahuan dari simpanan tersebut, yang merupakan pusat perhatian utama dan bukan perwujudan secara fisik dari pengetahuan.
2.   Pembelajaran merupakan masalah “penerimaan secara masuk akal” dari data yang diterima otak melalui panca indera.
3.   Kemampuan individu untuk merespon situasi baru dimana jika hanya berbekal kebiasaan stimuli-respon semata tidak akan dapat membuat individu tersebut siap.
4.   Pembelajaran merupakan suatu proses mental karena adalah lebih baik untuk mengetahui dan tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata daripada berkata-kata tanpa pemahaman.

2.3         Contoh Kasus Nature dan Nurture
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture maupun nature ternyata sama-sama diperlukan dalam proses pemerolehan bahasa manusia.
1.   Secara umum bayi memberikan reaksi dan menunjukkan aktivitas berbahasa terhadap lingkungan di sekitarnya meskipun ia tidak menyadari aktivitas tersebut. Ia mencoba mengeluarkan sejumlah potensi berupa bunyi bahasa atau kata dan secara teratur ia melakukan pengulangan. Jika tidak mendapat respon berupa pengakuan dari lingkungannya, seperti ayah, ibu atau saudaranya, maka bayi mengubah potensi tersebut dan mengulangi proses yang sama sampai ia mendapatkan pengakuan dari lingkungan (Pateda, 1991:102).
2.   Di sebuah desa di Perancis, pada tahun 1800, ditemukan anak laki-laki berusia 11-12 tahun yang tinggal di hutan dan sering menyusup ke desa untuk mencari makan. Ketika tertangkap dan dididik oleh direktur Institut Tuna Rungu yaitu Dr. Sicard, anak tersebut tidak dapat berbicara seperti manusia lain. Kemudian ia dididik oleh ahli lain, Jean-Marc-Gaspard Itard. Dibawah asuhan dan didikan yang baru ini, pola laku kehidupan Victor, nama yang diberikan pada anak laki-laki tersebut, dapat berubah namun tetap tidak mampu menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:236-237).
3.  Di Los Angeles, pada tahun 1970, ditemukan seorang anak perempuan yang disekap oleh orang tuanya di gudang belakang rumahnya. Selama 13 tahun ia tinggal dan sering disiksa ayahnya di dalam gudang tersebut, dan hanya diberi makan namun tidak pernah diajak berbicara oleh orang tuanya. Setelah diselamatkan, anak perempuan tersebut diberi nama Ginie kemudian dilatih agar dapat berbahasa selama 8 tahun, namun ternyata sama halnya dengan Victor pada kasus sebelumnya, ia tetap tidak mampu menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:237).



4.   Di Ohio, seorang anak perempuan berusia 6,5 tahun, yaitu Isabelle, diasuh oleh ibunya yang tuna wicara. Ia kemudian diasuh oleh Marie Mason, seorang pimpinan rumah sakit, dengan cara yang normal, dan ternyata Isabelle mampu menggunakan bahasa seperti anak-anak normal lainnya (Dardjowidjojo, 2003:237).
         Pada contoh kasus pertama yang berhubungan dengan bayi pada umumnya, tampak bahwa memang manusia mempunyai bekal bawaan atau nature untuk menguasai bahasa dan dengan dibantu nurture maupun pengaruh dari lingkungan seperti orang tua atau saudaranya, bayi tersebut mampu mengembangkan bekal bawaannya tersebut sampai akhirnya ia dapat menggunakan bahasa dengan sempurna.
Sedangkan pada contoh kasus kedua dan ketiga, meskipun Victor dan Isabelle juga memiliki kemampuan bawaan untuk menguasai bahasa atau nature, namun karena tidak adanya pengaruh dari lingkungan semenjak mereka dilahirkan atau nurture, Victor tinggal di hutan dan Ginie yang meskipun tinggal dengan orangtuanya sendiri namun hanya disiksa dan tidak pernah diajak bicara, maka usaha yang diupayakan ketika mereka telah berusia lebih dari 10 tahun agar kedua anak tersebut dapat menggunakan bahasa menjadi sia-sia belaka.
Untuk kasus keempat, yaitu Isabelle, proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture yang diberikan di usia yang tergolong lebih muda daripada Victor dan Ginie, yaitu 6,5 tahun, ternyata memberikan bantuan yang cukup besar terhadap kemampuan bawaannya atau nature sehingga ia mampu menggunakan bahasa. Dengan demikian tampak bahwa antara sifat pemerolehan bahasa nature dan nurture ternyata yang satu tidaklah lebih penting dari yang lain karena tanpa satu sama lain, pemerolehan bahasa tidak dapat berjalan dengan baik bahkan dapat menemui kegagalan.




3.             Kesimpulan
Pendekatan behaviorisme yang tidak mengindahkan keberadaan kemampuan yang dibawa sejak lahir untuk dapat memelajari bahasa dianggap terlalu dangkal karena hanya mengandalkan penelitian terhadap binatang dan secara sederhana menyamakan proses pemerolehan pengetahuan binatang dengan proses yang terjadi pada manusia.
Sebaliknya, Chomsky dan para pengikutnya berpendapat bahwa sejak dilahirkan anak telah dibekali seperangkat kemampuan atau language acquisition device (LAD) sehingga ia mampu menguasai bahasa tertentu. Oleh karena itu proses pemerolehan bahasa sendiri tetap bersifat alami atau nature karena peningkatan kemampuan berbahasa mengikuti kematangan baik pemahaman maupun usia sedangkan nurture hanya berperan untuk menentukan bahasa apa yang dipelajari manusia.
Dengan demikian tampak bahwa baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama penting karena yang satu mendukung keberadaan yang lain. Memiliki kemampuan bawaan sejak lahir untuk memelajari bahasa atau nature semata tidak banyak bermanfaat jika tidak ada nurture atau pengaruh dari lingkungan. Sebaliknya, tanpa nurture atau pengaruh dari lingkungan semata juga tidak akan berpengaruh jika manusia tidak dibekali dengan kemampuan pribadi untuk memeroleh bahasa. Namun tentunya kenyataan bahwa baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting dalam pemerolehan bahasa manusia sebaiknya memerlukan lebih banyak lagi pembuktian baik melalui penelitian maupun eksperimen terhadap manusia, khususnya terhadap bagaimana manusia memelajari bahasa yang merupakan salah satu ciri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Bell, Roger T. 1981. An Introduction to Applied Linguistics.  London: B.T. Batsford, Ltd.
Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching.  New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lyons, John. 1977. Semantics. Cambridge University Press.
Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Flores: Penerbit Nusa Indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar